Seputarian – Jaksa penuntut umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Nagan Raya, Provinsi Aceh, menuntut seorang terdakwa dalam kasus tindak pidana korupsi dana desa dengan hukuman lima tahun enam bulan penjara.
Tuntutan tersebut disampaikan dalam persidangan yang berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Banda Aceh, Senin. Sidang tersebut dipimpin oleh majelis hakim yang diketuai Apriyanti, serta didampingi oleh dua hakim anggota, Harmi Jaya dan Heri Alfian.
Terdakwa dalam kasus ini adalah Zulkifli Joni, yang sebelumnya menjabat sebagai Sekretaris Gampong Kuala Seumanyam, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya, pada periode 2016-2021. Dalam persidangan, terdakwa hadir tanpa didampingi oleh penasihat hukum.
Selain hukuman penjara, jaksa juga menuntut agar terdakwa dikenakan denda sebesar Rp100 juta. Apabila denda tersebut tidak dibayarkan, maka akan digantikan dengan hukuman kurungan selama tiga bulan.
Jaksa menyampaikan bahwa terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, serta dikaitkan dengan Pasal 55 Ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Berdasarkan fakta yang terungkap dalam persidangan, tindakan korupsi ini dilakukan secara bersama-sama. Selain terdakwa, kasus ini juga melibatkan Guntur, yang menjabat sebagai Keuchik atau kepala desa Kuala Seumanyam, serta Didit Pranata, yang berperan sebagai bendahara desa. Guntur telah dipidana dalam kasus yang ditangani secara terpisah, sedangkan Didit Pranata saat ini masih berstatus sebagai buronan atau masuk dalam daftar pencarian orang (DPO).
Dana desa yang menjadi objek dalam kasus ini berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Gampong (APBG) pada tahun anggaran 2016 hingga 2021. Besaran anggaran yang dikelola dalam periode tersebut tercatat cukup besar, yakni Rp867,1 juta pada 2016, Rp1,04 miliar pada 2017, Rp951,7 juta pada 2018, Rp1,2 miliar pada 2019, Rp1,16 miliar pada 2020, serta Rp1,13 miliar pada 2021.
Dalam pengelolaan anggaran tersebut, berbagai penyimpangan ditemukan oleh jaksa. Berdasarkan hasil penyelidikan, negara mengalami kerugian lebih dari Rp1,7 miliar akibat praktik korupsi yang dilakukan. Penyimpangan ini mencakup berbagai modus, seperti perjalanan dinas fiktif, pengadaan barang yang tidak sesuai, hingga pungutan pajak yang tidak disetorkan ke kas daerah.
Beberapa bentuk penyimpangan dalam penggunaan dana desa antara lain meliputi pengadaan kipas angin dan proyektor yang tidak sesuai prosedur, serta proyek pembuatan tapal batas desa yang ternyata tidak pernah direalisasikan. Semua praktik ini dilakukan secara sistematis dan mengarah pada penyalahgunaan keuangan negara.
Menanggapi tuntutan yang diajukan oleh jaksa, terdakwa menyatakan akan menyampaikan nota pembelaan dalam bentuk tertulis. Majelis hakim kemudian memutuskan untuk menunda persidangan hingga Senin, 10 Maret 2025, dengan agenda mendengarkan pembelaan dari terdakwa.
Kasus ini menjadi salah satu contoh bagaimana dana desa yang seharusnya digunakan untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat, justru diselewengkan oleh pihak yang memiliki kewenangan dalam pengelolaannya. Aparat penegak hukum terus berupaya untuk menindak tegas kasus-kasus korupsi seperti ini guna memberikan efek jera bagi para pelaku dan mencegah terulangnya tindakan serupa di masa depan.
