Seputarian – Pada Sabtu, 22 Februari 2025, kelompok pejuang Palestina, Hamas, bersiap melakukan pembebasan enam sandera asal Israel di Gaza. Pembebasan ini dilakukan sebagai bagian dari kesepakatan pertukaran dengan Israel, yang akan membebaskan 602 tahanan Palestina. Proses ini menjadi kelanjutan dari perjanjian gencatan senjata yang telah berlangsung sejak 19 Januari 2025, meskipun ketegangan tetap tinggi karena beberapa insiden yang hampir membatalkan kesepakatan.
Rencana pertukaran ini diumumkan setelah sebelumnya terjadi insiden pengembalian jenazah yang salah diidentifikasi, yang sempat mengancam keberlangsungan gencatan senjata di Gaza. Keenam sandera yang akan dibebaskan merupakan kelompok terakhir dari total 33 orang yang telah disepakati untuk dilepaskan pada tahap awal gencatan senjata tersebut. Menurut pejabat Hamas, pembebasan ini dijadwalkan berlangsung sekitar pukul 08.30 pagi waktu setempat (06.30 GMT).
Di antara para sandera tersebut, empat orang, yakni Eliya Cohen (27), Tal Shoham (40), Omer Shem Tov (22), dan Omer Wenkert (23), sebelumnya ditangkap dalam serangan Hamas ke wilayah Israel pada 7 Oktober 2023. Dua sandera lainnya, Hisham Al-Sayed (36) dan Avera Mengistu (39), telah ditahan oleh Hamas selama hampir satu dekade setelah memasuki Gaza secara terpisah dalam keadaan yang belum sepenuhnya jelas.
Sebagai balasan atas pembebasan sandera tersebut, pihak Israel berjanji akan membebaskan 602 tahanan Palestina. Proses ini menjadi bagian dari upaya penyelesaian konflik yang telah berlangsung selama beberapa bulan terakhir, meskipun masih ada ketegangan yang mengancam kesepakatan damai tersebut.
Sebelumnya, pada Kamis malam, Israel menuduh Hamas telah melanggar perjanjian gencatan senjata. Tuduhan ini muncul setelah kelompok tersebut menyerahkan jenazah yang tidak dikenal, alih-alih jenazah sandera Shiri Bibas dan dua anaknya, yang seharusnya dikembalikan. Hamas menjelaskan bahwa kemungkinan terjadi kekeliruan saat jenazah ditemukan di reruntuhan bangunan yang dihancurkan oleh serangan udara Israel pada November 2023.
Pada hari Jumat, Hamas kemudian menyerahkan jenazah lain yang disiapkan untuk proses identifikasi lebih lanjut oleh petugas forensik Israel. Kesalahan identifikasi ini menimbulkan kemarahan publik di Israel, mengingat keluarga Bibas telah menjadi simbol trauma yang dialami masyarakat sejak serangan pada 7 Oktober tersebut.
Militer Israel mengungkapkan bahwa berdasarkan analisis intelijen dan forensik, jenazah Kfir Bibas yang berusia 10 bulan dan kakaknya Ariel yang berusia empat tahun diduga kuat telah dibunuh dengan sengaja oleh para penculik.
Sebagai tanggapan, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengancam akan memberikan balasan yang setimpal kepada Hamas atas kegagalan mengembalikan jenazah tersebut. Namun, meskipun ancaman tersebut dilontarkan, Netanyahu memilih untuk tidak membatalkan gencatan senjata yang sudah berlangsung sejak 19 Januari 2025.
Di sisi lain, Hamas menuduh Israel telah melanggar gencatan senjata dengan menghalangi masuknya bantuan kemanusiaan yang sangat dibutuhkan di Gaza. Meskipun demikian, kelompok tersebut tetap melanjutkan proses penyerahan nama-nama sandera yang akan dibebaskan, menandakan komitmen untuk tetap menjalankan kesepakatan yang telah disepakati.
Sementara itu, meskipun gencatan senjata telah berhasil menghentikan pertempuran di Gaza untuk sementara waktu, prospek perdamaian jangka panjang masih belum terlihat jelas. Hamas, yang bertanggung jawab atas serangan pada 7 Oktober 2023 yang menewaskan sekitar 1.200 orang dan menyandera 251 orang, terus berupaya menunjukkan kekuatan dan pengaruhnya di Gaza, meskipun mengalami kerugian besar selama konflik berlangsung.
Otoritas kesehatan Palestina melaporkan bahwa serangan militer Israel telah menewaskan lebih dari 48.000 orang sejak operasi dimulai. Sebagian besar wilayah Gaza kini hancur, memaksa ratusan ribu warga mengungsi ke tempat penampungan sementara dan bergantung pada bantuan kemanusiaan.
Kedua pihak berencana untuk memulai perundingan tahap kedua. Proses ini bertujuan mencapai kesepakatan terkait pembebasan sekitar 60 sandera yang masih ditahan dan membahas kemungkinan penarikan pasukan Israel dari wilayah Gaza. Namun, pembicaraan ini diwarnai ketegangan, terutama karena adanya perbedaan pandangan mengenai masa depan Gaza.
Isu ini semakin rumit dengan munculnya usulan kontroversial dari Presiden AS Donald Trump, yang mengusulkan untuk mengosongkan wilayah Gaza dari penduduk Palestina dan mengembangkan kawasan tersebut menjadi resor bergaya Riviera yang berada di bawah kendali Washington. Usulan ini memicu kecaman luas di berbagai belahan dunia dan semakin memperumit negosiasi yang sedang berlangsung.
Ketidakpastian mengenai masa depan Gaza, ditambah dengan ketegangan politik dan militer yang terus meningkat, membuat upaya mencapai perdamaian menjadi semakin sulit. Baik Israel maupun Hamas saat ini berada di persimpangan yang krusial, di mana setiap keputusan yang diambil dapat berdampak besar pada stabilitas kawasan tersebut.
Dalam situasi yang terus berkembang ini, perhatian internasional tetap tertuju pada negosiasi lanjutan yang dapat menentukan arah konflik di masa depan. Prospek perdamaian yang rapuh masih tergantung pada komitmen kedua belah pihak untuk mematuhi kesepakatan yang telah dibuat dan mengutamakan kemanusiaan di tengah penderitaan yang telah melanda wilayah Gaza.
Leave a Reply